happynet

teks tanya jawab

Ramadhan dan Intensitas Siraman Rohani

Ramadhan dan Intensitas Siraman Rohani

KITA bersyukur ke hadirat Allah SWT karena dengan tidak terasa kita segera memasuki bulan Ramadhan 1430 H. Kita melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW, memenuhi perintah Allah SWT sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa”.

Jika dilihat dari sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, hal paling pokok dalam membentuk manusia bertaqwa sebagai hasil puasa Ramadhan bertitik tolak dari peningkatan kejujuran, terutama jujur kepada diri sendiri. “Setiap amal Bani Adam atau manusia adalah baginya kecuali puasa. Sebab dia puasa untuk-Ku dan Aku yang akan memberi pahalanya. Dia tidak makan dan tidak mengikutkan hawa nafsunya karena memenuhi perintah-Ku yakni perintah Allah SWT”.

Dari hadits ini semakin dipahami bahwa ibadah puasa adalah ibadah sirri atau bersifat rahasia. Berbeda dengan ibadah lainnya, seperti dituturkan Qurthubi di dalam tafsirnya, ibadah-ibadah lain yang bersifat zahir dapat dilihat orang banyak, sehingga ada kemungkinan terdapat ria di dalamnya. Shalat dapat dilihat orang, memberikan infaq, sedekah dapat dilihat orang, begitu juga melaksanakan ibadah haji dapat disaksikan orang banyak bahkan sifatnya men-dunia.

Dengan mengungkapkan puasa sebagai milik-Nya menunjukkan suatu penghormatan walaupun ibadah yang lain juga milik Allah. Sama dengan kata-kata Baitullah (rumah Allah) sebagai penghormatan sebutan Ka’bah, meskipun pada hakikatnya semua yang ada di jagat raya ini adalah milik Allah semata. Dan bagi manusia hanya sebagai pinjaman belaka. Tak habis-habisnya permasalahan puasa dibahas dari berbagai sudut pandang. Dan dalam tulisan ini diuraikan kaitan peningkatan/pelestarian ketaqwaan dengan menyimak/mendengarkan ajaran Islam secara lebih intensif dalam bulan Ramadhan.

Bertaqwa Pada Semua Urusan Kehidupan

Hasil puasa adalah peningkatan ketaqwaan dan di dalam pelestariannya harus diupayakan untuk terus menerus menerima siraman rohani dengan menyimak tulisan/mendengarkan seruan agama agar kita tidak lalai oleh godaan duniawiyah yang dapat melupakan kita terhadap perintah serta ancaman larangan Allah dan Rasul-Nya Muhammad SAW.

Terdapat sejumlah ayat Al-Quran yang mengaitkan masalah ketaqwaan dengan mendengarkan ajaran agama misalnya dalam QS. Al-Maidah 108 yang artinya: “Dan bertaqwalah kepada Allah dan dengarkanlah perintah-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.

Terlepas dari konteks ayat sebelumnya secara umum bunyi ayat ini menyuruh kaum Muslimin bertaqwa kepada Allah pada semua urusannya seperti ditegaskan Muhammad Rasyid Ridha dalam Al- Manar: “Dengarkanlah dengan pendengaran yang menghasilkan penerimaan terhadap segala apa yang disyariatkan Allah Ta ’ala kepada kamu. Jika kamu tidak bertaqwa yang diiringi dengan mendengarkan (maksudnya juga menghayati dan mengamalkan) segala ajaran itu, maka kamu akan fasik dengan pengertian terus menerus melanggar perintah Allah, karenanya tidak akan mendapat hidayah-Nya sebaliknya menerima hukuman Allah”.

Contoh orang tidur adalah permisalan yang sangat baik dan mudah ditangkap menunjukkan pentingnya menggunakan pendengaran, misalnya dalam QS. Ar-Rum 23 yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tidurmu di waktu malam dan siang hari usahamu mencari sebagian dari kurnia-Nya. Sesungguhnya hal itu merupakan pertanda atau bukti kekuasaan Allah bagi mereka yang mau mendengarkan”.

Permisalan orang tidur adalah seperti orang mati yang ruhnya dalam genggaman Allah. Dikembalikan ketika dia bangun, karena ajalnya belum sampai, seperti disebutkan dalam QS. Az Zumar: 42.
Ketika tidur nyenyak dia tidak dapat mendengar apapun. Maka ketika bangun dari tidurnya dan mencari rezeki dari Allah, pergunakan rahmat dan nikmat pendengaran itu kembali. Inilah makna filosofis penghujung ayat 23 surah Ar-Rum tadi “Inna fi dzalika laayatilliqaumiyyasma’un”. Mendengarkan disini maksudnya adalah mendengar ajaran agama di forum apapun.

Apakah ketika khutbah Jum’at, pengajian lainnya di mesjid, di kantor, melalui media massa elektronika dengan pemanfaatan multimedia interaktif dan lain-lain yang intensitasnya meningkat dalam bulan Ramadhan. Bukan hanya sekedar mendengarkan tapi juga mengolahnya dengan akal sehingga menjadi siraman rohani yang menambah keimanan. Bukan masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri, tanpa kesan dan faedah sama sekali.

Bagaimana pernyataan Allah terhadap mereka yang tidak mau menggunakan nikmat pendengaran yang diberikan Allah itu tergambar dalam QS.Al-Muluk 10-11 yang artinya: “Jika sekiranya kami mau mendengarkan ajaran agama dan mengolahnya dengan akal (memikirkannya) kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang apinya menyala-nyala. Ketika itu mereka menyadari dosanya, maka kebinasaanlah bagi penghuni neraka itu”. Tidak berguna lagi penyesalan itu sebab hanya di dunia tempat beramal. Sedangkan di akhirat adalah hari perhitungan. Tidak ada lagi ujian ulangan.

Mendengarkan, menyerap, memahami, menghayati ajaran-ajaran agama akan menghasilkan ketaatan dan ketaatan membuahkan amal sholih, seperti disebutkan dalam QS. Attaghabun ayat 16 yang artinya: “Bertaqwalah kepada Allah sesanggup kamu, dengarkanlah (ajaran agama) dan patuhilah dan berinfaklah, itu baik bagi dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya (karena mau berinfak/beramal sholih) merekalah orang yang memperoleh kemenangan/beruntung”.

Memperbanvak Amal Sholih

Seperti disebutkan hadits Nabi SAW, bulan Ramadhan awalnya rahmah, pertengahannya maghfirah dan penggalan sepuluh hari terakhirnya adalah “itqum minan naar”. Seluruhnya merupakan suatu kesempatan memperbanyak amal shalih dengan harapan mendapat rahmat, keampunan Allah, dan kelak melepaskan kita dari siksa neraka. Adalah suatu rahmat Allah bahwa suasana bulan Ramadhan senantiasa menggerakkan hati kaum mukminin untuk meningkatkan iman dan taqwanya. Termasuk dengan lebih intensif menyimak/mendengarkan siraman rohani.


PUASA BELUM MENJADIKAN BERHEMAT

Umat islam telah berada di bulan ramadhan, dimana tiap pemeluk islam diwajibkan melaksanakan ibadah puasa sesuai firman Allah : “hai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian menjadi orang yang takwa”.

Seperti pada ibadah lainnya, puasa (shiam) tak sekedar ritual keagamaan belaka, tapi mengandung suatu pelajaran bagi yang mengerjakannya. Menjadikan takwa, tentu bukan hal yang mudah bila seseorang ingin mencapai derajat takwa tersebut.
Puasa dikatakan Rasul Allah sebagai sebuah perang yang lebih dahsyat daripada beberapa peperangan umat islam melawan kaum kafir ; perang melawan hawa nafsu.

Namun tampaknya perang melawan hawa nafsu ini kebanyakan cuma dapat dilakukan selama jam-jam berpuasa. Pada ketika berbuka puasa dan sesudahnya, justru balas dendam sehabis menahan segala hawa nafsu.
Tak dapat dipungkiri, bulan puasa bagi kebanyakan umat islam dari strata menengah ke atas merupakan bulan dimana budget jadi meningkat daripada bulan lainnya.
Pada bulan-bulan lain hidungan makanan dan minuman seadanya, di bulan puasa justru selalu menghidangkan yang serba beda dan ekstra. Tak jarang acara berbuka puasa dilanjutkan shalat tarawih berjamaah yang kemudian mengundang seorang penceramah kondang dengan mengambil tempat di hotel berbintang.

Bulan ramadhan lebih mengena bagi umat yang berada di level menengah ke bawah. Bagi mereka yang memang hidup dalam kemiskinan, bulan puasa berarti bulan untuk lebih berhemat. Mereka ini memang sudah terbiasa setiap hari menahan dan merasakan lapar.
Alih-alih untuk melakukan penghematan dengan menahan hawa nafsu, ternyata malah sebaliknya, pemborosan. Jadi pelaksana puasa kebanyakan baru pada tahaf menahan nafsu terkait makan, minum, seks, tak bicara hal-hal buruk, namun belum kepada keuntungan materi yakni menghemat pengeluaran.

MUHAMMAD BIN ABDULLAH ; SEPUPU ALI BIN ABU THALIB.

Subhanallah, yang telah menciptakan al qur’an sebagai petunjuk bagi yang berfikir.

Ali <span class=Ibn Abu Thalib"

<span class=

Ali Ibn Abu Thalib

Suatu hari saya pernah mendengar seseorang mengatakan kepada beberapa temannya, Nabi Muhammad SAW tidak bisa dilukis, digambar (divisualisasikan). Saya pun tergelitik untuk ikut nimbrung. “Saya bisa melukis Nabi Muhammad SAW,” kata saya.
Tentu saja beberapa orang itu kaget. “Tentu kamu tidak akan bisa,” kata orang pertama. “Ambilkan saya secarik kertas dan pensil,” pintaku.
Mereka pun memenuhi permintaan saya itu. Maka mulailah saya melukis wajah seseorang bertampang Arabia semampu saya. Setelah selesai secarik kertas itu saya sodorkan kepada mereka. “Ini kan bukan lukisan wajah Nabi Muhammad SAW,” seru mereka serempak.
Namun saya tak mau begitu saja dikalahkan oleh pendapat mereka. Saya balik bertanya,” apakah kalian pernah tahu bagaimana wajah nabi Muhammad SAW itu ?” tanyaku. Mereka semua menggeleng lemah.

Selanjutnya saya katakan kepada mereka semua, wajah Nabi Muhammad SAW bukan mustahil dapat dilukis oleh manusia. Wajah Yesus Kristus yang lahir lebih dari 500 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW saja, manusia bisa melukiskannya, dan bahkan membuat patungnya. Yang benar adalah, umat Islam ‘diharamkanmelukis wajah Nabi Muhammad SAW. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai Rasul Allah terakhir itu dikultuskan kemudian bernasib sama seperti Nabi Isa Alaihissalam.

Saya tidak kaget ketika ada media massa yang menayangkan visualisasi wajah Nabi Muhammad SAW. Karena saya tidak kaget pula ketika melihat sejumlah lukisan khalifah Al Rasyidin ; Abubakar, Umar, Utsman, dan Ali di dinding-dinding rumah orang Islam.
Salah satu dari lukisan wajah Khalifah itu yang amat menjadi perhatian dan menggugah pikiran saya adalah, wajah Ali Bin Abu Thalib Bin Abdul Muthalib.
Umat Islam tahu kedudukan Ali selain Khalifah Al Rasyidin yang ke-4, ia juga pemuda yang pertama kali mengucap syahadat, dan ia pun sepupu sekali dari Nabi Muhammad SAW.
Layaknya 2 orang sepupu sekali dari pihak ayah, biasanya wajah mereka satu sama lain tak akan jauh berbeda, mempunyai kemiripan. Dalam pikiran saya, jika lukisan wajah Ali Bin Abu Thalib seperti yang dilukiskan orang, berarti wajah Nabi Muhammad SAW pun tentu tak begitu banyak perbedaannya.

Perasaan saya amat miris manakala melihat lukisan-lukisan para Sahabat Nabi, maupun lukisan para orang-orang shaleh yang hidup ratusan bahkan lebih dari seribu tahun lalu. Begitu amat hebat kah daya ingat yang diwariskan turun temurun hanya dengan prediksi kata-kata ?

Namun bukan mustahil pula dengan kemajuan teknologi masa kini, dimana perangkat komputer dapat mendisain sebuah wajah seseorang berdasarkan ciri-ciri etnis dan ras. Tapi kembali kepada larangan dalam Islam yang tak boleh ditawar-tawar lagi, melukis wajah Nabi Muhammad SAW adalahharam’.

Mestinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat suatu fatwa yang melarang melukis maupun mevisualisasikan wajah orang-orang terdekat Nabi Muhammad, para Nabi dan Rasul lainnya, juga para Ulama dan orang-orang Shaleh yang hidup berabad-abad lalu. Fatwa mengenai ini lebih ada gunanya ketimbang fatwa mengharamkan rokok atau menggunakan Facebook.

Maha Suci Allah yang telah menciptakan al-qur’an untuk menjadi petunjuk bagi orang yang berfikir.

Sebagai umat Muslim, kita dilarang mendoakan orang yang tak seiman, atau orang kafir.

Ketika Abu Thalib Bin Abdul Muthalib, ayahanda Ali, atau pamanda Rasul Allah itu meninggal dunia, Rasul Allah tidak mendoakan paman yang menjadi pelindung beliau tersebut. Abu Thalib sampai akhir hayatnya tidak ikut beriman kepada Allah seperti saudaranya yang lain ; Hamzah dan Abbas. Menurut suatu riwayat, ketika menjelang sakaratul maut Rasul membisikkan syahadat di telinga Abu Thalib, namun tak ada tanda-tanda paman beliau itu mengikuti kata-kata thayyibah tersebut. Ini artinya Abu Thalib termasuk dari orang-orang yang dilarang didoakan, alias orang kafir.

Begitupun halnya dengan ayahanda Nabi Ibrahim, Azar. Ayah dari Nabi yang bergelarKhalilullahini, merupakan seorang pembuat berhala yang hidup pada masa Raja Namrudz, ribuan tahun sebelum masehi.
Azar tak cuma seorang pembuat berhala, tapi ia juga penyembah berhala yang ia bikin sendiri. Ini juga berarti kerabat (bagian dari keluarga) Nabi Ibrahim ini adalah orang kafir.

Baik Abu Thalib, Abu Jahal, maupun Abu Lahab, tak pelak lagi merupakan kerabat atau keluarga (Ali) dari Rasul Allah Muhammad SAW. Dan perlu juga rupanya ditambahkan dalam ‘Ali’ Ibrahim, tidak saja Ismail, Ishak, Hajar, dan Sarah, tapi juga Azar ’sang Ayah’.

Subhanallah, Maha Suci Allah dan Maha Pengatur segalanya. “Kama shallayta ala sayyidina ibrahim,wa ala ‘ALI’ sayyidina ibrahim. Wabarik ala sayyidina muhammad,wa ala ‘ALI’ sayyidina muhammad.” Maka disini termasuk anggota keluarga (ALI) yang kafir dari kedua Rasul dan Nabi Allah itu didoakan, wallahu a’lam bissawab.

Aku berlindung kepada Allah dari hal-hal yang tak kuketahui dan tak ada pengetahuan padaku.

ALLAH MAHA MENDENGAR

Subhanallah, yang telah menciptakan al qur’an sebagai petunjuk bagi yang berfikir.

Sengaja saya memakai judul di atas agar tidak tampak ekstrem ketimbang “ALLAH TIDAK TULI”.

Tulisan ini terinspirasi manakala saya merasa amat terganggu oleh suara orang sedang tadarusan al qur’an di dekat tempat tinggal saya. Tak ada yang salah memang, tak ada yang melarang mereka tadarusan sepanjang malam. Tapi yang tidak etis dan diluar kepatutan dan kewajaran adalah ; mereka tadarusan memakai mikrofon yang suaranya amat nyaring. Tidur saya jadi terganggu oleh suara nyaring tersebut.

Mereka yang sedang beribadah, mencari pahala dengan melantunkan firman Allah, di sisi lain ada yang ingin istirahat setelah di siang hari beraktivitas.
Saya kira tak perlu beribadah dengan suara keras dan nyaring, karena meski dengan suara pelan, atau didalam hati sekalipun, Allah Maha Mendengar, tidak tuli.

Argumentasi ; dengan suara yang nyaring agar didengar orang lain, sebagai syiar agama. Bukankah menyampaikan syiar agama dapat disampaikan dengan cara-cara yang cukup etis, tak mengganggu ?
Tidakkah dengan suara keras dan nyaring justru malah dapat terpeleset ke dalam jurang riya’ ? Mengundang perhatian ingin dipuji bahwa sedang melakukan aktivitas keagamaan (?)

Saya punya keyakinan, pada jaman Rasul Allah dan para Sahabat, syiar islam disampaikan dengan cara-cara yang etis, tak mengusik ketenangan orang lain. Lagi pula pada jaman itu belum dikenal pengeras suara (mikrofon), apa mereka mesti berteriak membaca al qur’an ? Tentu tidak ! Sekali lagi, Allah tidak tuli, Allah Maha Mendengar.

Menulis masalah ini saya berdasar kepada etika umum yang logis, belum diperlukan nash-nash al qur’an. Islam itu rakhmatan lil alamien ; tidak saja untuk umatnya, tapi semua yang terdapat di alam semesta ini.
Mari meraih pahala dan keridhaan Allah dengan tetap melaksanakanhablum minannassecara baik.

AGAMA SEBAGAI CANDU BAGI RAKYAT


Saya tanpa sengaja membaca tulisan ini dari salah satu media cetak, ditulis oleh seseorang bernama Abdi Tauhid, terbit beberapa tahun lalu. Saya amat tertarik dengan isi tulisan yang menurut saya tidak biasa (lazim), jauh dari pemikiran (main stream) penulis dari kalangan muslim negeri ini.

Yang paling sering terdengar dari kalangan Islam fanatik, menurut istilah Bung Karno, ialah komunisme itu atheis. Marx Mengapa sampai lahir ucapan demikian ? Ini karena Karl Marx pernah mengatakan agama itu candu bagi rakyat. Tapi, apa konteks Marx ketika mengucapkan itu tak pernah diungkapkan oleh yang mencapkomunisme itu atheis”. Kemungkinan jika diungkapkan, mereka rugi sendiri.

Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina, melalui tulisannyaBeragama di kala duka’ (Kompas, 11/2-95), mengemukakan, ketika berbicara tentang Tuhan dan agama, Marx tidak berangkat dari postulat-postulat teologi, melainkan dengan mengamati situasi konkret manusia yang secara psikologis tertindas oleh situasi sosial dan politik yang opresif.

Marx merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara politis dan ekonomis ketika lembaga dan penguasa agama hanya menawarkan solusi berupa hiburan semu. Yaitu janji-janji surga di seberang derita dan kematian. Bahkan, Marx lebih kesal lagi saat melihat agama dan para tokohnya telah berkolusi dengan penguasa tiran yang menindas dan membodohi rakyat.
Gambaran ini terjadi pada masyarakat (Nasrani) di pertengahan abad ke 19 di masa Marx hidup. Dan tampaknya gambaran serupa masih berlangsung di masyarakat Muslim pada abad ini di beberapa negara yang diperintah kalangan beragama Islam.

Menurut Komaruddin Hidayat, yang menjadi sasaran pokok kritik Marx bukanlah hakikat Tuhan serta ajaran metafisika agama, melainkan praktik keberagamaan yang bersikap eskaptis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkret, bukannya tawaran surgawi di seberang kematian. Praktik keberagamaan semacam ini, bagi orang semacam Karl Marx (lahir di Rhineland Jerman pada 1818), tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan derita sementara (paliatif) karena akar penyutitnya tidak tersentuh sama sekali.

Barangkali, seandainya tokoh-tokoh agama ketika itu tidak menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosiak yang memerlukan penyelesaian konkret, tak memberikan tawaran surgawi di seberang kematian, dan tak berkolusi dengan penguasa yang tiran, tentu tak akan muncul ucapan Marx (agama sebagai candu bagi masyarakat/rakyat), dan sudah barang tentu pula persoalannya akan jadi lain.
Sekiranya mereka tahu kata Komaruddin Hidayat, yang memerangi Marxisme atau Komunisme itu mengetahui dalam konteks apa ucapan Marx, boleh jadi mereka akan ikut membenarkan Marx.

Ini masih terkait pemikiran Karl Marx dan tulisan beberapa penulis terkait persesuaian dengan Islam.
Kalangan Islam yang menentang komunisme mengatakan bahwa komunisme dalam perjuangannya untuk mencapai tujuan menggunakan jalan kekerasan dan perjuangan kelas. Kaum komunis memang tak pernah menyembunyikan bahaya untuk mencapai tujuannya, yaitu hapusnya kapitalisme dengan menggunakan perjuangan kelas.

Sejarah semua susunan masyarakat yang ada hingga kini, kata Marx melalui ‘manifesto komunis’, adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka dengan budak, ‘patricier’ dengan ‘plebeyer’, tuan dan hambanya, tukang dan keneknya. Tegasnya, yang menindas dan yang tertindas terus menerus bertentangan, terkadang dengan cara sembunyi, terkadang dengan cara terang-terangan. Tetapi, pertentangan itu selalu berakhir dengan terjadinya perubahan-perubahan besar dalam masyarakat atau kelas-kelas yang bertentangan itu sama-sama binasa. Sejarah yang dimaksud Marx itu adalah sejarah tertulis hingga 1848, ketika manifes itu ditulis.
Sejarah yang lebih tua daripada susunan pergaulan hidup manusia, boleh dikata, belum diketahui orang.

Perjuangan kelas dilakukan karena kelas yang berkuasa tak akan secara sukarela menyerahkan kekuasaannya yang menindas. Kebebasan harus diperjuangkan. Direbut. Tak akan diperoleh dengan mengharap belas kasihan dari kelas yang menindas.
Yang jadi pertanyaan, apakah tujuan Islam untuk menjadikan kaum ‘mustadhafin’ (tertindas dan miskin) menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi ; seperti dikemukakan dalam surat Al-Qashash ayat 5-6 akan membumi, tanpa kaum ‘mustadhafin’ melakukan perjuangan kelas ?
Yang sudah jelas, dalam surat Ar Ra’du ayat 11 dikatakan, “Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum bila kaum itu tidak mengubahnya sendiri.” Artinya, kaum tertindas dan miskin (buruh, petani, miskin kota, dan rakyat pekerja lain) akan tetap tertindas dan miskin bila mereka tak mengubah keadaan dirinya. Untuk mengubahnya, mereka harus mengorganisasikan diri, menyusun kekuatan, dan berjuang untuk mencampakkan belenggu yang dililitkan kaum ‘mustakbirin’ (para tiran, angkuh, dan kaya) di leher mereka.

Kaum mustadhafin tak bisa mengharap belas kasihan dari kaum mustakbirin yang membelenggu dan menindas mereka. Situasi untuk dapat terus menindas tentu akan dipertahankan mati-matian oleh kaum mustakbirin. Sedangkan kaum mustadhafin harus melepaskan belenggu penindasan dari leher mereka, baru dapat bebas.

Petunjuk surat Ar Ra’du ayat 11 cukup tegas kepada kaum mustadhafin untuk melakukan perjuangan kelas. Malahan, dalam perjuangan untuk tegaknya keadilan di bumi, Islam malah memperingatkan umatnya melalui surat An Nisa’ ayat 75 : “mengapa kamu tidak berperang untuk membebaskan orang-orang yang teraniaya ?” Peringatan Tuhan tersebut menunjukkan Islam lebih keras daripada perjuangan kelas yang diajarkan Karl Marx.

Kaum buruh tak perlu berperang untuk bisa mendapat upah dan jaminan sosial yang lebih baik, karena itu merupakan bagian dari perjuangan kelas itu sendiri.
Jadi, sesungguhnya Islamisme dan Komunisme sama-sama melakukan perjuangan kelas untuk mencapai tujuannya, yaitu hapusnya Kapitalisme. Hanya, bisa saja perbedaannya terletak pada istilah yang digunakan. Sedangkan akibatnya, mungkin sama. Marx menggunakan istilah “perjuangan kelas”, sedangkan Islam memakai “usaha kaum”. Usaha itu adalah perjuangan, kaum itu tak lain yaitu kelas dalam masyarakat.

AL QUR’AN PETUNJUK BAGI ORANG YANG BERFIKIR.


Al qur’an merupakan mu’jizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Firman Allah ini diturunkan dalam bahasa Arab dengan tingkatan sastra yang tak ada tandingannya, diwahyukan dalam bahasa yang amat dimengerti oleh penerimanya (Muhammad) dan bangsa Arab.

Al qur’an dalam tulisan dan bahasa Arab saat ini ditafsirkan kedalam berbagai bahasa di dunia. Hal ini seiring dan terus berkembang dan bertambahnya pemeluk Islam di berbagai belahan bumi.
Meski sebagian besar umat Islam tak mengerti dan memahami bahasa Arab (al qur’an), namun Allah menjanjikan pahala bagi umat Islam yang mendengarkan dan membaca al qur’an.

Tak dapat dipungkiri tafsir al qur’an dalam berbagai bahasa, amat membantu umat Islam mempelajari dan memahami firman Allah tersebut. Meski tak dapat dipungkiri pula tak semua ayat-ayat al qur’an dapat ditafsirkan kedalam bahasa selain Arab.

Hampir dapat dipastikan ayat-ayat al qur’an hanya menjadi tumpukan dari kertas-kertas yang bertuliskan firman Allah tanpa memahami dan melaksanakan petunjuk Allah tersebut. Dan ayat-ayat al qur’an yang ditempelkan di dinding dalam bentuk kaligrafi, tanpa memahaminya, cuma menjadi pengingat kepada Allah pemilik firman, selebihnya adalah merupakan seni.
Ayat-ayat al qur’an tanpa dibaca (menjadi do’a), jika ditempelkan, atau dibawa, tak akan dapat mengusir roh jahat. Karena al qur’an bukan seperti salib Nasrani yang digambarkan mampu mengusir Setan dan Hantu.
Al qur’an wajib dipelajari, difahami, serta isinya dilaksanakan dalam segala sendi kehidupan, sehingga banyak diantara ayat al qur’an yang berbunyi ; afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala tanzhurun.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

HAL-HAL YANG AMAT MENGGANGGU PIKIRAN

Bismillahirrahmanirrahim,
Maha Suci Allah yang telah menciptakan Al-Qur’an.

Ada 2 Rukun dalam Islam yang wajib diterima dan dilaksanakan baik dalam perbuatan maupun dalam keyakinan yaitu, Rukun Islam ; Syahadat kepada Allah dan Rasul Muhammad, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Kemudian Rukun Iman ; beriman kepada Allah, kepada Nabi dan Rasul, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab yang diciptakan Allah, kepada Hari Akhir (kiamat), dan Qadha dan Qadhar.

Namun ada beberapa hal yang teramat mengusik dan mengganggu pikiran ; (1) Nur Muhammad, (2) Insan Kamil (manusia sempurna), (3) Turunnya Imam Mahdi dan Dajjal, (4) Adam Manusia Pertama, dan (5) Keturunan Rasul Allah Muhammad SAW.
Tentang Nur Muhammad, banyak menyebutkan telah diciptakan sebelum Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya. Muncul dalam pemikiran saya yang amat awam ini, Muhammad Bin Abdullah yang lahir di Mekkah itu bukan berasal dari golongan manusia, karena diciptakan dari nur layaknya para Malaikat. Sedangkan realitanya Muhammad Bin Abdullah yang kemudian diangkat Allah menjadi Nabi dan Rasul tersebut memiliki sifat-sifat layaknya seorang manusia ; memiliki jasad, nafsu dan akal, berkembang biak, dan meninggal. Ada pula yang berpendapat Nur Muhammad tersebut meliputi seluruh makhluk ciptaan Allah, wallahu a’lam bissawab………”janganlah kamu mengikuti apa-apa yang tak ada pengetahuan padamu.”

Lalu Insan Kamil, manusia sempurna. Menurut yang pernah saya baca, Insan Kamil itu adalah Allah SWT sendiri. Ini ada yang mengibaratkan seperti pakaian yang bisa diwaris-wariskan kepada siapa yang berhak.

Turunnya Imam Mahdi dan Dajjal. Imah Mahdi diidentikkan banyak orang sebagai Nabi Isa (Yesus Kristus) yang akan datang menjelang hari Kiamat untuk mengadili umat manusia yang sesat.
lalu datangnya Dajjal sebagai sosok Pembohong Besar penipu umat manusia.
Jika masalah tersebut kita kembalikan kepada Al-Qur’an, maka turunnya Imam Mahdi bertentangan, karena Allah akan mengadili umat manusia kelak di akhirat (yaumil hisab). Adapun Dajjal, saya pernah membaca sebuah buku mengenai ini, menyebutkan seseorang bernama Ibnu Sayyad atau Ibnu Su’ud yang hidup sejaman dengan Rasul Allah Muhammad SAW, orang inilah yang disebut-sebut sebagai Dajjal.
Sosok Pembohong Besar ini digambarkan memiliki badan besar dari rata-rata manusia, sebelah mata cacat, dan rambut lurus berdiri. Lucunya di buku yang saya pernah baca itu menyebutkan, Sang Dajjal hingga kini belum mati. Ia dirantai di alam gaib oleh Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great) putera dari Raja Philipus dari Macedonia. Sungguh teramat tak masuk akal, seseorang yang hidup sejaman dengan Rasul Allah Muhammad SAW tapi dapat dirantai oleh seorang Raja yang hidup pada masa Sebelum Masehi, jauh sebelum Rasul Allah SAW lahir.

Adam Manusia Pertama. Tak ada keterangan dalam Al-Qur’an yang mengatakan Adam adalah “awwal al insan.” Lagi pula ada keterangan dalam Al-Qur’an dimana ketika Allah mengatakan kepada para Malaikat akan menciptakan manusia, para Malaikat justru mengatakan nantinya manusia hanya akan membuat kerusakan di muka bumi. Secara logika ini mengisyaratkan sebelumnya telah ada manusia yang diciptakan Allah disebabkan para Malaikat telah tahu tabiat manusia.

Keturunan Rasul Allah Muhammad SAW. Islam jelas-jelas memakai sistem garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal), sehingga nama seseorang selalu diikuti oleh nama bapaknya, bukan nama ibunya, misalkan Muhammad Bin Abdullah, bukan Muhammad Ibnu Aminah. Dan sesuai dengan fakta sejarah, Rasul Allah Muhammad SAW memiliki seorang putera bernama Ibrahim yang meninggal ketika masih berusia amat muda (tentu belum sempat menikah). Selanjutnya Rasul Allah hanya memiliki beberapa puteri yang diantaranya seorang dinikahi Sahabat Ali Ibnu Abi Thalib, dan 2 orang menjadi istri Sahabat Utsman Ibnu Affan.
Kalaulah puteri Rasul Allah SAW (Fatimah) dari pernikaannya dengan Ali Ibnu Abi Thalib (pamannya sendiri) itu melahirkan keturunan, maka sesuai sistem patrilineal adalah keturunan dari Ali Ibnu Abi Thalib, bukan keturunan Rasul Allah. Dan pelanjut keturunan Rasul Allah terhenti (putus) karena tak memiliki putera pelanjut keturunan.
Namun bila diantara baik keturunan Ali Ibnu Abi Thalib ataupun Utsman Ibnu Affan diakui sebagai kerabat, ini tentu tak bertentangan dengan sistem garis keturunan yang telah dipakai sejak Nabi Adam itu.

Itulah beberapa hal yang amat mengganggu pikiran saya. Dan saya sering merenung, apakah hal-hal tersebut dapat menjadikn saya kafir sedangkan saya berpegang dan melaksanakan Rukun Islam dan Rukun Iman.

Akhirnya, Rasul Allah Muhammad SAW pernah berkata, “Salah satu sifat buruk dari bangsa Arab adalah terlalu mengagungkan nasab keturunan.”
Allah Maha Besar, tiada satupun yang memiliki Keabadian (Qadim) selain Allah, yang lain segalanya bersifat Fana (makhluk), serta shalawat dan salam kepada Rasul Allah Muhammad SAW, innallaha wa malaikatahu yusalluna alannabiy.


ISLAM DAN PLURALISME

Jika membicarakan islam, maka akan banyak hal yang perlu kita ketahui dan pelajari. Ini tak akan jauh berbeda dengan agama lain.
Pada awalnya islam cuma dikenal sebagai agama yang diajarkan Nabi Muhammad, diikuti oleh para kerabat dekat dan sahabat Beliau. Pada perkembangan selanjutnya seiring bertambah banyaknya pemeluk islam dari berbagai bangsa dan etnis, islam mulai terkotak-kotak oleh berbagai kepentingan, termasuk kepentingan kekuasaan dan politik.

Mengenal islam, semakin jauh, maka akan semakin banyak yang mesti dipelajari. Tak kurang ratusan aliran atau sekte yang masing-masing memiliki perbedaan dalam mengimplementasikan ajaran islam.
Disamping itu tradisi serta adat istiadat suatu bangsa maupun etnis ikut ambil bagian dalam berbagai ritual keagamaan serta sudut pandang ajaran islam.

Banyak hal-hal yang semestinya tak dilakukan oleh seorang penganut Muslim, namun dianggap sebagai bagian dari praktik keagamaan.

Di indonesia masing-masing etnis memiliki ciri tertentu pula dalam melaksanakan ajaran islam. Berbagai adat istiadat dan tradisi suatu etnis pun masuk dan dianggap merupakan bagian yang teramat sulit dipisahkan dari ritual keagamaan. Apalagi adanya semacam jargon ‘tiap aktivitas yang diniatkan karena Allah merupakan suatu ibadah’, maka semakin sulit memisahkan ajaran islam yang murni dengan yang telah dimodifikasi.

Ada beberapa tradisi yang sulit dihilangkan untuk tujuan pemurnian ajaran islam ; acara maulid Nabi Muhammad. Acara yang dibarengi ritual keagamaan ini dimaksudkan sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad. Sepintas mirip dengan perayaan Natal pada umat nasrani ; perbedaan istilah, antara maulid dan natal yang artinya sama-sama kelahiran.
Sejarah islam tak ada mencatat kegiatan semacam ini dikerjakan oleh para pengikut islam di era para sahabat, thabi’in dan tha’it thabi’in. Padahal di era inilah dimana ajaran islam dilaksanakan sesuai tuntunan Nabi penerima wahyu Allah.

Karena ajaran islam dianggap juga sebagai tuntunan hidup untuk semua aspek, maka tiap aktivitas yang ditujukan dan dianggap dapat mendatangkan kebaikan, tak pelak lagi dikaitkan dan dianggap pula sebagai anjuran agama. Beberapa hal yang disebutkan disini merupakan tradisi atau adat istiadat yang sebenarnya tak pernah dilakukan oleh para penganut islam awal ;
-peringatan isra dan mi’raj.
-tahlilan hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, ke 25, ke 40, ke 100 hari pasca kematian, yang disertai acara perjamuan makanan.
-acara tujuh bulanan untuk wanita hamil.
-membakar dupa atau kemenyan di tiap malam jum’at disertai membaca surat yaasin.
-pembacaan maulid al habsyi, manaqiban, dan kitab barjanzi.
-dan berbagai kegiatan terkait pengobatan orang sakit, serta pasca wanita melahirkan.

Bahkan banyak pula yang memiliki anggapan, meminta bantuan ‘orang pintar’ untuk meraih atau mencapai tujuan tertentu sebagai melaksanakan ’syariat’.

Pluralisme dalam mengaplikasikan dan mengimplementasikan ajaran islam oleh para penganutnya, tak dapat dipungkiri masih banyak dipengaruhi oleh ajaran diluar islam ; animisme, dinamisme, phanteisme, dan agama lain. Sehingga dapat dikatakan tak ada sunni yang murni, atau syi’ah tulen, yang ada yaitu susi atau suni syi’ah. Begitupun terhadap aliran islam lainnya seperti wahabi, juga mu’tazilah.

SAYA ADALAH AKU

“Kafir kamu !” kata temanku. Hampir saja gelas teh yang kupegang melayang ke mukanya, andai aku tak mampu menguasai emosiku.

Perkataan temanku itu terlontar sehabis mendengar pernyataanku yang tak mau mengakui Nabi Muhammad SAW memiliki keturunan. Ia bersikeras menyatakan Siti Fatimah sebagai pengganti putera Rasul sebagai pelanjut keturunan.
Dia mengemukakan beberapa hadits yang mendukung pendapatnya. Tapi aku pun bersikeras menyatakan hadits-hadits itu palsu, dibuat dan diada-adakan oleh kaum Syi’ah yang amat mengagungkan keturunan Ali Ibn Abu Thalib dengan Fatimah.

Aku memang sudah muak sering kali mendengar hal ini. Kultus, perendahan martabat, dan pembohongan serta pembodohan yang tak berdasar pada realita dan logika sehat manusia. Bagaimana mungkin seorang wanita (Fatimah) bisa dikatakan sebagai pelanjut keturunan. Dia (Fatimah) bukan seperti Maryam yang hamil tanpa proses seksual yang lazim, tapi karena kuasa Allah (mu’jizat).

Lebih merasa muak lagi jika aku menyaksikan banyak orang berparas Arabia yang mengaku masih keturunan Rasul Allah, dielu-elukan, dipeluk, dan tangannya dicium melebihi orang tua sendiri. Naudzu billah, tsumma naudzu billah, suatu perbuatan penghambaan manusia atas manusia lainnya.

Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, sungguh aku pun mencintai Rasul, namun tak seberapa jika dibandingkan kecintaanku kepada Allah. Sungguh hanya hak Allah untuk dicintai melebihi apapun di seluruh alam semesta ini. Muhammad cuma manusia, ia hanya salah satu dari seluruh makhluk ciptaan Allah. Tak layak bagi Muhammad mengambil apa-apa yang menjadi hak Allah.
Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan al-qur’an.

ALLAH MEMBERIKAN KEMUDAHAN MELALUI ISLAM


Allahu Akbar, Allah Maha Besar, tak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya Allah satu-satunya Yang Qadim.
Allah tidaklah akan mempersukar para hambanya yang bernama manusia. Namun manusia itu sendiri yang mempersukar dirinya.
Islam merupakan agama yang benar-benar sederhana dan mudah dipahami oleh siapa saja, dari segala tingkat strata sosial maupun pendidikan, asalkan manusia itu masih dapat mempergunakan akal pikirannya. Makanya tak sedikit ayat-ayat Al Qur’an yang memuat kata-kata “afala tatafakkarun, atau afala ta’qilun.”

Allah juga melalui Islam melarang taklid buta, “jangan kamu mengikuti apa-apa yang tidak ada pengetahuan padamu.” Namun tak sedikit dari umat Islam tak mengindahkan larangan Allah itu. Mereka tetap saja banyak yang taklid kepada guru-guru agama, atau ulama-ulama mereka tanpa mau berusaha mencari tahu kepada sumber yang benar-benar valid, yaitu Al Qur’an dan Hadits shahih.

Hal yang patut kita renungkan adalah, Allah telah menganugerahkan ‘akal’ kepada manusia untuk pembeda dari makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia pun diberi label ‘khalifat al Ardh’ hingga ‘fi ahsani taqwim.’ Label yang teramat mulia yang didapat manusia dibanding makhluk lainnya. Akal, sebagai wahana untuk memilah dan memilih. Dalam batas-batas tertentu, akal masih sanggup menganalisa berbagai hal terkait ciptaan Allah, meski tetap harus dipandu oleh wahyu-wahyu Allah.

Nabi Ibrahim dengan akalnya sanggup menganalisa keberadaan Tuhan dengan melihat dan memikirkan tanda-tanda dan benda-benda alam sebagai ciptaan Allah.
Sayangnya banyak diantara kita belum menyadari apa yang dimaksud Allah melalui kalimat afala tatafakkarun dan afala ta’qilun. Banyak diantara kita dicekoki oleh para ‘orang pintar’ dengan hal-hal yang mempersempit berkembangnya perenungan dan pemikiran akan ciptaan Allah. Banyak pula diantara kita yang merasa menguasai berbagai ilmu pengetahuan agama, kemudian merasa memiliki otorisasi terhadap berbagai hal menyangkut sikap keberagamaan umat. Sehingga mereka merasa lebih berhak menafsirkan berbagai aturan dalam agama, menutup pintu ijtihad. Padahal seperti Allah katakan, Seorang Anak tidak menanggung dosa ayahnya, begitupun sebaliknya. Atau, barangsiapa berbuat kebaikan ataupun keburukan seberat zarrah maka akan mendapat ganjaran sesuai perbuatannya.

Akhirnya muncul berbagai fatwa dari orang-orang yang merasa menjadi pemegang otoritas dalam agama, diluar dari mereka dianggap tak memiliki hak untuk seperti mereka. Atau bila terdapat diluar dari golongan mereka yang dianggap dapat menjadi ancaman eksistensi, dicap sebagai sempalan, bahkan kafir. Bukankah hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah hubungan vertikal yang tak seorangpun dibenarkan turut campur, karena dalam hubungan ini antara hamba dan Tuhannya tak memerlukan perantara (medium) apapun. Tuhan bukanlah seperti seorang Raja yang zalim yang butuh orang-orang dekat sebagai perantara antara si Raja dengan rakyatnya.
Adalah suatu hal yang teramat aneh bila seseorang mengaku beragama namun tak mengenal siapa Tuhan yang disembahnya, sehingga ia butuh orang lain yang dianggap ‘orang dekat’ Tuhan sebagai medium.

Tuhan pun tidak pernah menutup pintu ijtihad bagi hambanya selama itu tak bertentangan dengan segala perintah-Nya. Kenapa kita tak melakukan ijtihad bagi kebaikan diri kita sendiri dan diridhoi oleh Allah ?
Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan Al Qur’an.

KEBAHAGIAAN DI UJUNG KEMATIAN

Setiap kali kita mendengarkan ceramah agama oleh para ustadz, pemuka agama, selalu yang kita dengar adalah mereka cuma menyampaikan ancaman Tuhan terhadap manusia yang berbuat dosa, dan imbalan bagi yang taat kepada perintah Tuhan. Selalu itu yang terus diulang-ulang. Isi materi ceramah agama yang tak beranjak dari topik yang menjanjikan kebahagian setelah kematian dan kemudian dibangkitkan di akhirat kelak.

Nyaris tak ada yang membicarakan, mengungkap bagaimana memecahkan permasalahan dan kondisi sekian banyak manusia yang tak beruntung dan terpuruk dalam kehidupan ; miskin, melarat, kumuh, dan tak bermartabat. Mereka sebagian besar, para pemuka agama membatasi diri sebagai figur penyampai ayat-ayat Tuhan, tidak berupaya menjadi pemberi solusi agar masyarakat terpicu dan terpacu untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka. “Kemiskinan nyaris mendekati kekafiran.” Kalimat ini mestinya harus selalu diingat oleh para pemuka agama jika akan dan sedang berhadapan dengan masyarakat.

Kita tentu tak mengingkari keadaan para pemuka agama yang sebagian besar bersifat eksklusif, memiliki jarak terhadap umat, sehingga seorang pemuka agama seolah sudah semacam “orang dekat” Tuhan.
Pada realitas yang nyata tak sedikit para pemuka agama yang memanfaatkan posisinya untuk mendulang materi dari penyampaian isi ceramah mereka. Sementara di sisi lain kondisi masyarakat (umat) tak beranjak dari berbagai kesulitan hidup, justru di bagian lain banyak dari para pemuka agama yang mudah menumpuk materi dan hidup makmur berkecukupan dari ayat-ayat Tuhan yang keluar dari mulut dan kerongkongan.

Pun realita yang bukan lagi menjadi rahasia, seorang yang dianggap “alim” akan pasang tarif tertentu jika dipanggil untuk menyampaikan tausiyah.
Memang ada juga yang tak pasang tarif karena jaga imej, namun bila bayaran yang didapat tak sesuai harapan, tak akan mau dipanggil pada tausiyah berikutnya.

Allahu Akbar, Allah Maha Besar, dan Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya, yang memperingatkan para ahli kitab yang menukar ayat-ayat Allah untuk nafsunya.

HUKUM KARMA BUKAN KEPERCAYAAN ISLAM


Bismillahirrhmanirrahim,
Maha Suci Allah yang telah menciptakan Al-Qur’an.

Seringkali kita mendengar pembicaraan tentang hukum karma di tengah-tengah umat Islam. Hukum karma, suatu pengertian tentang pembalasan atas perbuatan baik maupun buruk oleh seseorang, akan dibalas di dunia. Jika seseorang melakukan perbuatan, dan ia tak mendapat balasan selama ia hidup di dunia, maka akan dibalaskan kepada keturunan maupun kerabatnya.

Hukum karma, tak ada satupun nash Al-Qur’an menyebut tentang hal ini, begitupun Hadits Shahih. Hukum ini tak dikenal dalam agama Islam, tapi merupakan kepercayaan agama lain yaitu Budha (karmaphala).
Balasan atas perbuatan seseorang selama ia hidup di dunia, telah diatur sedemikian rupa menurut agama Islam. Terdapat proses dimana seseorang akan mendapat balasan atas perbuatan, baik maupun buruk, dilakukan oleh Sang Pengadil Tunggal (Maliki yaumiddien) di akhirat kelak, bukan di dunia. Jika terdapat dimana seseorang melakukan perbuatan baik atau buruk terhadap orang lain, dan kemudian ia memperoleh balasan yang sama seperti ia memperlakukan orang lain tersebut, maka itu hanya bersifat kebetulan.

Al-Qur’an telah menerangkan proses yang mengarah kepada pengadilan Allah terhadap perbuatan manusia selama hidup di dunia ; dimulai oleh Hari Kiamat (yaumil qiamat, yaumil akhir), lalu Hari berkumpul (yaumil mahsyar), kemudian Hari pembalasan (yaumil hisab).
Janganlah mengada-adakan sesuatu yang Allah telah menetapkannya untuk kita.
Subhanallah, Maha Suci Allah, hanya kepada Allah segala puja dan puji, serta shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad S.A.W, innallaha wa malaikatahu yusalluna alannabiy.

Pembangunan Masjid Agung Sibolga Dimulai

Dalam pengembangan kehidupan umat beragama di Kota Sibolga selama ini berperan aktif dan mendukung setiap pelaksanaan keagamaan. Pemko Sibolga sebagai manajemen kota dan motor pelaksanaan pembangunan daerah telah mendukung dan membantu usulan rencana pembangunan rumah ibadah.

Niat umat Islam di Kota Sibolga dan sekitarnya untuk membangun Masjid Agung Sibolga segera terwujud. Hal itu ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Sibolga yang dilaksanakan,

Menhut MS Kaban, Ir H. Akbar Tanjung, Wakil Walikota Sibolga H.Afifi Lubis dan Wakil Bupati Tapteng Ir.M.Arman Efendi Pohan meletakkan batu pertama pada pembangunan Masjid Agung Sibolga, Kamis (9/8).
Ketua panitia pembangunan Masjid H. Afifi Lubis, SH yang juga Wakil Walikota Sibolga mengatakan, Masjid Agung Sibolga satu-satunya masjid kebanggaan warga Kota Sibolga dimana usianya memasuki 100 tahun.
Untuk itu direncanakan akan dibangun bangunan Masjid agung yang baru berukuran 2.222 m2 dilengkapi berbagai fasilitas pendukung lebih baik dan modern dengan biaya perkiraan Rp 10 miliar.

Dalam pengembangan kehidupan umat beragama di Kota Sibolga selama ini berperan aktif dan mendukung setiap pelaksanaan keagamaan. Pemko Sibolga sebagai manajemen kota dan motor pelaksanaan pembangunan daerah telah mendukung dan membantu usulan rencana pembangunan rumah ibadah.

Demikian disampaikan ketua panitia pembangunan Masjid H. Afifi Lubis, SH yang juga Wakil Walikota Sibolga saat memberi sambutan pada peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung, Kamis (9/8).


Oleh karena itu demi kelancaran dan percepatan pelaksanaan pembangunan rumah ibadah lebih ditekankan partisipasi dan swadaya masyarakat demi kelancaran pembangunan masjid yang dicintai.
Dikatakan Afifi, bangunan Masjid Agung salah satu elemen terpenting Kota telah berdiri sekian tahun telah mengalami beberapa kali renovasi akibat adanya kerusakan karena konstruksi bangunan sudah tua.

Sejak dibangun 1908 bertepatan lahirnya pergerakan Budi Utomo pembangunan Masjid dalam konstruksi sederhana terbuat dari kayu dan kemudian selanjutnya direnovasi pada tahun 1976 dalam arsitektur tempo dulu. Dijelaskan Afifi, pembangunan masjid terdiri dari ukuran masjid 2.004 M2, tempat mengambil wudhuk 182 M2, menara 36 M2 dengan jumlah luas lahan 4.900 m2.

Sementara Menhut MS Kaban dalam uraian singkatnya mengatakan, pembangunan masjid sangat dibutuhkan kebersamaan serta keihklasan bersedekah meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
"Banyak-banyaklah bersedekah pasti Allah akan melihatnya dan melipatgandakan amal ibahadah yang telah kita perbuat, dan jangan hanya masjid dijadikan hanya sebagai simbol umat saja tetapi tidak diisi dengan jamaahnya", imbuh Kaban.

Dikatakan untuk itu ditargetkan pembangunannya harus selesai 1 tahun mengingat banyaknya jumlah jamaah yang akan ditampung dalam masjid serta antusias masyarakat menyalurkan infaq dan sadakah demi kemaslahatan umat.

Pada kesempatan itu Ir.H.Akbar Tandjung yang juga mantan ketua DPR RI sedikit bernostalgia. Dia mengaku pada masa kecilnya datang dari Sorkam menuju Sibolga rasanya kurang lengkap kalau tidak shalat di Masjid Agung.

"Marilah kita secara bersama-sama untuk membangun masjid dan memakmurkannya menyalurkan bantuan secara ikhlas, sehingga pembangunan masjid direncanakan cepat selesai dalam waktu singkat.





Advertise here
Moreniche





0 komentar:

Posting Komentar